Berita

Ciptakan Kerangka Kerja yang Baik, Pemprov Kaltim Gelar Workshop Identifikasi Potensi Kesenjangan Pada Proses Konsultasi FPIC / PADIATAPA Program FCPF-CF

  •   Ceppy
  •   13 Juni 2024
  •   3:08pm
  •   Berita
  •   387 kali dilihat


Samarinda - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menggelar Workshop Identifikasi potensi kesenjangan pada proses konsultasi FPIC / PADIATAPA Program FCPF-CF, Kamis (13/06).

“Lokakarya ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kesenjangan dalam proses konsultasi FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) / Pelaksanaan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) pada Program FCPF-CF (Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund) atau Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca,” ungkap Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Kaltim Iwan Darmawan.

Hadir pada agenda ini berbagai pemangku kepentingan, mulqi dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun provinsi Kaltim, LSM, Mitra Pembangunan dan Lembaga Perantara yang terlibat dalam pemantauan dan implementasi kebijakan lingkungan tersebut.

Diketahui, konsultasi FPIC/PADIATAPA adalah prinsip kunci dalam proses pengembangan proyek-proyek yang berdampak pada masyarakat adat atau lokal.

Di Indonesia, prinsip FPIC diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Adat. Prinsip ini menjamin bahwa masyarakat yang terkena dampak memiliki hak untuk memberikan atau menolak persetujuan mereka atas proyek-proyek yang berpotensi mempengaruhi wilayah atau sumber daya mereka.

Nanang Hayani selaku Kepala Bagian Sumber Daya Alam Biro Perekobomian Setdaprov Kaltim turut menjelaskan FPIC dalam Program FCPF-Cf di Kalimantan Timur, Dalam konteks Carbon Right memastikan bahwa ada pemindahan pendelegasian hak atas karbon dari kelompok Masyarakat, entitas dan para pihak di Kaltim kepada pemerintah Kaltim dan KLHK.

Penerapan PADIATAPA merupakan Bagian dari implementasi FCPF-CF. Kegiatannya dilakukan untuk memperoleh pernyataan persetujuan secara sukarela, atas dasar pemberian informasi di awal, tanpa paksaan, serta dalam jangka waktu yang cukup kepada seluruh entitas, khususnya masyarakat adat/masyarakat lokal.

“Di Kalimantan Timur, Proses PADIATAPA dilakukan sejak program dimulai, setidaknya tahun 2019 dan untuk pertama dilakukan pada tahun 2020. Akibat pandemi COVID-19 dan kendala alam, dari 150 desa target, penerapan PADIATAPA hanya mencakup 99 desa yang tersebar di 5 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Timur,” terang Nanang

Karenanya, desa target lainnya akan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program dan kegiatan Perangkat Daerah (PD) terkait dan mitra pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur.

Nanang juga melanjutkan bahwa diperlukan pendampingan Masyarakat dalam pengimplementasian program FCPF-Carbon Fund, baik pada tahap pelaksanaan kegiatan lapangan, maupun tahap pelaporan dan pemantauan program ditingkat desa/kampung/kelurahan.  
 
Kemudian, pengintegrasian program FCPF-Carbon Fund dengan program-program yang telah ada di desa/kampung/kelurahan juga memerlukn penyusunan Road Map Pendampingan Masyarakat dan petunjuk teknis pelaksanaan dengan melibatkan Perangkat Daerah terkait dan lembaga-lembaga mitra pembangunan di Kalimantan Timur.

“Harapannya, Sinergisitas yang telah terbangun antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan PemerintahDesa/Kampung/Kelurahan saat pelaksanaan proses PADIATAPA perlu dilanjutkan dan diperkuat pada tahapan pelaksanan program FCPF-Carbon Fund,” imbuhnya.

Lokakarya ini dikemas menarik dengan diskusi bersama para narasumber termasuk pula perwakilan dari Bank Dunia yaitu Franka Braun selaku Lead Environmental Specialist Environment, Natural Resources and Blue Economy (ENB) World Bank.

“Kami sangat mengapresiasi Indonesia khususnya Kalimantan Timur yang berhasil dalam perannya menurunkan gas emisi ini dan kini menjadi pionir tak hanya bagi wilayah lain bahkan negara-negara linnya di dunia,” ujarnya.

Namun, tentu ada tantangan yang kompleks yang akan dihadapi sehingga menurutnya penting juga untuk mengatasi masalah komunikasi dan perbedaan budaya yang sering kali menjadi penghalang dalam proses konsultasi.

“Strategi untuk membangun hubungan yang kuat antara semua pihak, serta untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses konsultasi. Tentunya tak hanya dengan pendekatan yurisdiksi namun juga harus tercipta hubungan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat yang merasakan manfaat dari pendanaan ini,” sambung Franka.

Oleh krena itu, diharapkan workshop ini diharapkan dapat memberikan wawasan berharga bagi semua peserta tentang cara meningkatkan efektivitas dalam proses konsultasi FPIC/PADIATAPA Program FCPF-CF.

Dengan demikian, dapat tercipta kerangka kerja yang lebih baik untuk mengelola proyek-proyek pembangunan dengan memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat adat dan lokal, sehingga dapat menciptakan dampak yang positif bagi semua pihak yang terlibat. (cpy/pt)